Jumat, 04 Maret 2016

Media Pembelajaran Menggunakan kertas karton dan kertas origami, Asmaul Anbiya'(Nama-nama Nabi)

Media Pembelajaran menggunakan paint

Strategi dan Metode Pembelajaran 2


BAB I
PENDAHULUAN
Mengajar pada hakekatnya adalah kegiatan yang dilakukan seseorang secara sadar untuk merubah tingkah laku atau memberikan keterampilan baru kepada seseorang. Kegiatan mengajar dalam kehidupan manusia tidak akan bisa dielakkan dalam proses perkembangan manusia. Dan mengajar selalu dikaitkan dengan belajar sehingga menjadi dua kata yaitu “Belajar dan Mengajar” yang disatukan menjadi suatu istilah “Proses Pembelajaran”. Kata mengajar sendiri mempunyai akar kata yang sama dengan belajar yaitu berasal dari kata “ajar”. Secara harfiah kata “mengajar” diartikan kepada “memberikan pelajaran”. Artinya, mengajar sebagai suatu pekerjaan melibatkan berbagai hal, yaitu guru sebagai pengajar, materi pelajaran dan pelajar.
Dengan demikian mengajar dapat diartikan kepada suatu aktivitas atau kegiatan yang dilakukan seseorang yang dapat membuat orang lain mengetahui atau menguasai suatu ilmu atau menguasai suatu ketrampilan yang baru. Sedangkan secara deskriptif diartikan sebagai suatu aktivitas dari proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari seseorang guru kepada siswa (Proses pembelajaran). Dalam hal ini, istilah proses pembelajaran atau mentransfer ilmu diartikan sebagai proses menyebarluaskan untuk proses mengajar, sebagai proses penyampaian pengetahuan, akan lebih tepatnya sebagai penanaman ilmu pengetahuan.
Sedangkan dalam teori mengajar Ausubel disebutkan bahwa mengajar adalah memberikan bahan verbal yang bermakna bagi siswa. Inti utama dalam mengajar ialah mengindentifikasi apa yang telah diketahui siswa dan menerangkan apa yang perlu diketahuinya lebih lanjut serta bagaimana menstrukturkannya sehingga apa yang dipelajarinya tersebut mudah untuk dipahami sebagai sesuatu kebutuhan pengetahuan yang utuh.
BAB II
PEMBAHASAN
Mengajar Bahan Verbal Yang Bermakna
Mengajarkan bahan verbal yang bermakna menurut Ausubel, seseorang memperoleh pengetahuan lebih utama melalui resepsi(penerimaan:recepsion)dari pada melalui penemuan(discovery). Konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan gagasan-gagasan dipresentasikan dan dipahami, tidak ditemukan. Semakin presentasi terorganisasidan terfokus, semakin mendalam seseorang akan belajar. Ausubel menekankan apa yang disebut sebagai meaningful verbal learning(belajar verbal bermakna)informasi verbal, gagasan-gagasan, dan hubungan-hubungan antar gagasan diperoleh secara bersama-sama. Mengingat hafalan tidak dianggap sebagai belajar bermakna, karena bahan-bahan yang dipelajari dengan cara menghafal tidak membentuk hubungan dengan pengetahuan yang telah ada atau yang telah dimiliki.
Ausubel telah mengusulkan model pembelajaran ekspositori untuk memberdayakan kebermaknaan belajar dari pada belajar penerimaan dengan menghafal. (Disini ekspositori/paparan berarti penjelasan), pada pendekatan ekspositori guru mempresentasikan bahan-bahan dengan diorganisasikan secara hati-hati, diurutkan, dan dalam bentuk jadi, sehingga siswa dapat belajar secara efisien. Ausubel juga sependapat dengan Bruner dalam hal bahwa seorang pelajar(orang yang sedang dalam belajar)dengan mengorganisikan informasi menjadi hirarki dan sistem koding. Ausubel menyebut konsep umum yang terdapat pada puncak sistem sebagai sumber, karena semua konsep adalah bagian yang terdapat dibawahnya. Tetapi Ausubel meyakini bahwa belajar harusnya dilakukan secara deduktif, bukan secara induktif sebagaimana yang diyakini oleh Bruner. Ausubel merekomendasikan untuk mengajar aturan atau prinsip atau konsep terlebih dahulu, baru kemudian contoh-contohnya, dari yang general ke yang spesifik, dari yang umum ke yang khusus.
Pembelajaran yang mengacu pada pendapat Ausubel selalu dimulai dengan sebuah advance organizer. Belajar secara optimal akan terjadi bila ada potensial kecocokan antara skema kognitif siswa dengan bahan-bahan yang akan dipelajari. Advance organizer akan menjadi sebuah pernyataan pembuka tentang hubungan konsep utama (level atas) dengan informasi-informasi lain yang akan mengikuti. Fungsi advance organizer adalah untuk menyediakan perancah (scaffolding) atau suport terhadap informasi baru. Advance organizer juga dapat dipandang seebagai jembatan antara bahan-bahan pembelajaran baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Dalam teori mengajar menurut Ausubel ini sering juga disebutkan bahwa mengajar adalah memberikan bahan verbal yang bermakna bagi siswa. Inti utama dalam mengajar adalah mengindentifikasi apa yang telah diketahui siswa dan menerangkan apa yang perlu diketahuinya lebih lanjut serta bagaimana menstrukturnya sehingga apa yang dipelajarinya tersebut mudah untuk dipahami sebagai suatu kebulatan pengetahuan yang utuh berhubungan dengan itu, maka Ausubel mengemukakan konsep antar lain:
a.    Bahan Pengait
Berupa bahan atau materi pembelajaran lain akan tetapi sangat berkaitan dengan materi yang akan atau sedang diajarkan. Sehingga guru dituntut untuk tahu dan dapat mengajari bahan-bahan lain yang berkaitan dengan materi yang disajikan. Seperti jika seorang guru menerangkan tentang gerhana matahari total maka bahan pengaitannya adalah perdasaran planet. Guna bahan pengait agar bahan pelajaran verbal mudah dipahami, maka bahan pelajaran tersebut perlu dibantu dengan suatu bahan yang disebut “advance organizer”.
b.    Kebermaknaan
Mempelajari bahan pelajaran dengan berusaha menghayati makna logis dan makna psikologis dari materi yang disajikan.
·      Makna logis terdapat dalam kamus atau dengan perkataan lain adalah makna yang tidak terbantah kebenarannya. Makna logis yaitu dari isi konsep dan tergantung kepada hakekat dari bahan yang dipelajari serta keterhubungannya bersifat umum.
·      Makna psikologis yaitu menurut persepsi seseorang terhadap apa yang diterimanya, sehingga bisa saja makna psikologis ini akan berbeda masing-masing orang. Makna Psikologis juga diartikan sebagai makna individual yang mungkin berbeda bagi setiap siswa, tergantung pada makna logis setiap pribadi yang merupakan bagain integralari struktur kognitif masing-masing siswa.
Syarat belajar bermakna :
§  Siswa harus memiliki kesiapan berupa kemampuan untuk menghubungkan konsep baru yang akan dipelajari dengan konsep pelajaran baru haruslah mengandung kebermaknaan logis
§  Siswa mengetahui unsur dari konsep, prinsip dan ide yang terkandung dalam bahan pelajaran baru yang perlu dihubungkan dengan struktur kognitif yang telah dikuasai.
§  Bahan lama yang telah dikuasai

Langkah-langkah mendorong ke arah belajar bermakna :
1.    Mendorong terciptanya kesiapan belajar pada diri siswa
2.    Mencegah terjadinya cara belajar menghafal
3.    Mengecek apakah siswa telah menguasai konsep-konsep dasar yang diperlukan untuk mempelajari bahan pelajaran baru
4.    Menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dengan pengetahuan baru yang akan dipelajari
5.    Mengusahakan bahan pengait untuk memudahkan dalam memahami bahan pelajaran baru
c.    Belajar bermakna (meaningful learning) yang digagas David P. Ausubel adalah suatu proses pembelajaran dimana siswa lebih mudah memahami dan mempelajari, karena guru mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sehingga mereka dengan mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah ada dalam pikirannya. Sehingga belajar dengan “membeo” atau belajar hafalan (rote learning) adalah tidak bermakna (meaningless) bagi siswa. Belajar hafalan terjadi karena siswa tidak mampu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang lama.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari dan ditekankan pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam system pengertian yang telah dipunyainya.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar bermakna. Mereka yang berada pada tingkat pendidikan dasar, akan lebih bermanfaat jika siswa diajak beraktifitas, dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi.
Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:
  1. Belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajarinya atau siswa menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
  2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
  3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna, materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.
  4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna, yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki.
 Prasyarat agar belajar menerima menjadi bermakna menurut Ausubel, yaitu:
  1. Belajar menerima yang bermakna hanya akan terjadi apabila siswa memiliki strategi belajar bermakna,
  2. Tugas-tugas belajar yang diberikan kepada siswa harus sesuai dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa,
  3. Tugas-tugas belajar yang diberikan harus sesuai dengan tahap perkembangan intelektual siswa.
Jadi belajar bermakna (meaningful learning) itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa mengajar ditandai oleh terjadinya hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau situasi baru dengan komponen-komponen yang relevan di dalam struktur kognitif siswa. Proses belajar tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan. Dengan demikian, agar terjadi belajar bermakna maka guru harus selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dan membantu memadukannya secara harmonis konsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan.
Dengan kata lain, belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami langsung apa yang dipelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya mendengarkan orang/guru menjelaskan. Pembelajaran itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses interaksi antar anak dengan anak, anak dengan sumber belajar dan anak dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak. Proses belajar bersifat individual dan kontekstual, artinya proses belajar terjadi dalam diri individu sesuai dengan perkembangannya dan lingkungannya.
Ada beberapa defenisi mengajar menurut Ausubel, yaitu:
1.    Menanamkan pengetahuan pada anak
2.    Menyampaikan kebudayaan pada anak
3.    Mengatur lingkungan terjadi PMB
Cara mengajar menurut Ausubel:
1.    Guru harus memahami
§  Mampu melaksanakan komunikasi dengan baik
§  Mampu mengintegrasi diri dengan bahan yang diajarkan
§  Mengenal dengan baik murid-muridnya
§  Menguasai belajar dengan baik
2.    Gaya mengajar
§  Cara berdiri didepan kelas
§  Cara bergerak dan berjalan
§  Gerakan tangan yang dilakukan
§  Pandagan mata
§  Mimik dan gerak muka
§  Suara
§  Sikap berdiri
§  Cara menulis
§  Cara bertanya
§  Cara menenangkan kelas
§  Cara memuji

BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar bermakna. Mereka yang berada pada tingkat pendidikan dasar, akan lebih bermanfaat jika siswa diajak beraktifitas, dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak.
2.    Saran
Sebaiknya seorang guru harus mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sehingga mereka dengan mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah ada dalam pikirannya. Guru baiknya tidak menggunakan proses belajar dengan cara menghafal karena murid akan bosan dengan cara guru yang menghafal. Proses belajar menghafal biasanya memberatkan muridnya.














Kamis, 03 Maret 2016

Filsafat Ilmu Aksiologi


BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang Masalah
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam manusia, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan. Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai? Bagian dari filsafat pengetahuan membicarakan tentang ontologis, epistomologis dan aksiologi, Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
1.2     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian aksiologi?
2.      Apa kategori dasar aksiologi ?
3.      Apa saja penilaian dalam aksiologi?
4.      Apa kegunaan aksiologi terhadap tujuan ilmu pengetahuan?
5.      Apa kaitan aksiologi dengan filsafat ilmu?
1.3    Tujuan
1.      Untuk menjelaskan pengertian aksiologi
2.      Untuk mengetahui kategori dasar
3.      Untuk mengetahui penilaian dalam aksiologi
4.      Untuk mengetahui aksiologi terhadap tujuan ilmu pengetahuan
5.      Untuk mengetahui kaitan aksiologi dengan filsafat ilmu




BAB II
PEMBAHASAN
AKSIOLOGI (Nilai Kegunaan Ilmu)
2.1     Pengertian Aksiologi 
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi.
a.       Menurut Jujun S. Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.[1]
b.      Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
c.       Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian,serta penerapanilmu.
Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilakuetis.
Menurut Bramel, Aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu:
1.      Moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika.
2.      Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
3.      Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.[2]
Dari definisi-definjisi aksiologi di atas terlihat dengan jelas bahwa permasalah utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika . Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Dalam Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation:
1.      Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2.      Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai - nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3.      Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.[3]
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalahs esuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang nilai yang yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
2.2.   Kategori Dasar Aksiologi
Terdapat dua kategori dasar axiologi :
1.      Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai.
2.      Subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan).
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1.    Teori nilai intuitif
2.    Teori nilai rasional
3.    Teori nilai alamiah
4.    Teori nilai emotif

Teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran obyectivis sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subyektivis.
1.      Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value ). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolute itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tatanan moral yang bersifat baku.Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antar obyek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
2.      Teori nilai rasional ( Therational theory of value ). Bagi mereka janganlah percaya padanilai yang bersifat obyektif dan murni independent dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan suatu yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi dengan nalar atau peran tuhan nilai ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
3.      Teori nilai alamiah ( Thenaturalistic theory of value ). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan , dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolute tetapi bersifat relative. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi manusia.
4.      Teori nilai emotif ( Theemotive theory of value ). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan factual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia.[4]
2.3     Penilaian Dalam Aksiologi
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya.
Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar.
Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap tuhan sebagai sang pencipta.
Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adala h pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.
Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika. Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bengun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasaakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal sebenarnya  tetap merupakan perasaan.
2.4     Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama,
tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1.      Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
2.      Filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3.      Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.[5]
2.5     Kaitan Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.










BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Dalam arti tertentu, jika nilai merupakan esensi yang dapat ditangkap secara langsung, maka sudah pasti hubungan antara nilai dengan eksistensi merupakan bahan yang sesuai benar bagi proses pemberian tanggapan dan memberikan sumbangan untuk memahami secara mendalam masalah-masalah yang berhubungan dengan nilai.
3.2. Saran
Sebelum Mempelajari Ilmu, hendaknya kita mempelajari terlebih dahulu tentang aksiologi. Karena aksiologi mempelajari tentang kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia, selain itu juga mempelajari tentang teori nilai - nilai tolok ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian serta penerapan ilmu.
















                                                                                                                        
DAFTAR PUSTAKA
Latif, Mukhtar.Filsafat Ilmu.2013.Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Bakhtiar, Amsal.Filsafat Ilmu.2004.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Suriasumantri.S, Jujun.Filsafat Ilmu.2009.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan



[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hal. 234.
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal. 163.
[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hal.164
[4] Mukhtar Latif, Filsafat Ilmu, hal.231.
[5] Mukhtar Latif, Filsafat Ilmu, hal. 234.