Tugas Kuliahkuuu
Jumat, 04 Maret 2016
Strategi dan Metode Pembelajaran 2
BAB I
PENDAHULUAN
Mengajar pada hakekatnya adalah kegiatan yang dilakukan seseorang
secara sadar untuk merubah tingkah laku atau memberikan keterampilan baru
kepada seseorang. Kegiatan mengajar dalam kehidupan manusia tidak akan bisa
dielakkan dalam proses perkembangan manusia. Dan mengajar selalu dikaitkan
dengan belajar sehingga menjadi dua kata yaitu “Belajar dan Mengajar” yang
disatukan menjadi suatu istilah “Proses Pembelajaran”. Kata mengajar sendiri
mempunyai akar kata yang sama dengan belajar yaitu berasal dari kata “ajar”.
Secara harfiah kata “mengajar” diartikan kepada “memberikan pelajaran”.
Artinya, mengajar sebagai suatu pekerjaan melibatkan berbagai hal, yaitu guru
sebagai pengajar, materi pelajaran dan pelajar.
Dengan demikian mengajar dapat diartikan kepada suatu aktivitas
atau kegiatan yang dilakukan seseorang yang dapat membuat orang lain mengetahui
atau menguasai suatu ilmu atau menguasai suatu ketrampilan yang baru. Sedangkan
secara deskriptif diartikan sebagai suatu aktivitas dari proses penyampaian
informasi atau pengetahuan dari seseorang guru kepada siswa (Proses
pembelajaran). Dalam hal ini, istilah proses pembelajaran atau mentransfer ilmu
diartikan sebagai proses menyebarluaskan untuk proses mengajar, sebagai proses
penyampaian pengetahuan, akan lebih tepatnya sebagai penanaman ilmu
pengetahuan.
Sedangkan dalam teori mengajar Ausubel disebutkan bahwa mengajar
adalah memberikan bahan verbal yang bermakna bagi siswa. Inti utama dalam
mengajar ialah mengindentifikasi apa yang telah diketahui siswa dan menerangkan
apa yang perlu diketahuinya lebih lanjut serta bagaimana menstrukturkannya
sehingga apa yang dipelajarinya tersebut mudah untuk dipahami sebagai sesuatu
kebutuhan pengetahuan yang utuh.
BAB II
PEMBAHASAN
Mengajar Bahan Verbal Yang Bermakna
Mengajarkan bahan verbal yang bermakna menurut Ausubel, seseorang memperoleh
pengetahuan lebih utama melalui resepsi(penerimaan:recepsion)dari pada melalui
penemuan(discovery). Konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan gagasan-gagasan
dipresentasikan dan dipahami, tidak ditemukan. Semakin presentasi terorganisasidan
terfokus, semakin mendalam seseorang akan belajar. Ausubel menekankan apa yang
disebut sebagai meaningful verbal learning(belajar verbal bermakna)informasi
verbal, gagasan-gagasan, dan hubungan-hubungan antar gagasan diperoleh secara
bersama-sama. Mengingat hafalan tidak dianggap sebagai belajar bermakna, karena
bahan-bahan yang dipelajari dengan cara menghafal tidak membentuk hubungan
dengan pengetahuan yang telah ada atau yang telah dimiliki.
Ausubel telah mengusulkan model pembelajaran ekspositori untuk
memberdayakan kebermaknaan belajar dari pada belajar penerimaan dengan
menghafal. (Disini ekspositori/paparan berarti penjelasan), pada pendekatan
ekspositori guru mempresentasikan bahan-bahan dengan diorganisasikan secara
hati-hati, diurutkan, dan dalam bentuk jadi, sehingga siswa dapat belajar
secara efisien. Ausubel juga sependapat dengan Bruner dalam hal bahwa seorang
pelajar(orang yang sedang dalam belajar)dengan mengorganisikan informasi
menjadi hirarki dan sistem koding. Ausubel menyebut konsep umum yang terdapat
pada puncak sistem sebagai sumber, karena semua konsep adalah bagian yang
terdapat dibawahnya. Tetapi Ausubel meyakini bahwa belajar harusnya dilakukan
secara deduktif, bukan secara induktif sebagaimana yang diyakini oleh Bruner.
Ausubel merekomendasikan untuk mengajar aturan atau prinsip atau konsep
terlebih dahulu, baru kemudian contoh-contohnya, dari yang general ke yang
spesifik, dari yang umum ke yang khusus.
Pembelajaran yang mengacu pada pendapat Ausubel selalu dimulai
dengan sebuah advance organizer. Belajar secara optimal akan terjadi bila ada
potensial kecocokan antara skema kognitif siswa dengan bahan-bahan yang akan
dipelajari. Advance organizer akan menjadi sebuah pernyataan pembuka tentang
hubungan konsep utama (level atas) dengan informasi-informasi lain yang akan
mengikuti. Fungsi advance organizer adalah untuk menyediakan perancah
(scaffolding) atau suport terhadap informasi baru. Advance organizer juga dapat
dipandang seebagai jembatan antara bahan-bahan pembelajaran baru dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Dalam teori mengajar menurut Ausubel ini sering juga disebutkan
bahwa mengajar adalah memberikan bahan verbal yang bermakna bagi siswa. Inti
utama dalam mengajar adalah mengindentifikasi apa yang telah diketahui siswa
dan menerangkan apa yang perlu diketahuinya lebih lanjut serta bagaimana
menstrukturnya sehingga apa yang dipelajarinya tersebut mudah untuk dipahami
sebagai suatu kebulatan pengetahuan yang utuh berhubungan dengan itu, maka
Ausubel mengemukakan konsep antar lain:
a. Bahan Pengait
Berupa bahan atau materi pembelajaran lain akan tetapi sangat
berkaitan dengan materi yang akan atau sedang diajarkan. Sehingga guru dituntut
untuk tahu dan dapat mengajari bahan-bahan lain yang berkaitan dengan materi
yang disajikan. Seperti jika seorang guru menerangkan tentang gerhana matahari
total maka bahan pengaitannya adalah perdasaran planet. Guna bahan pengait agar
bahan pelajaran verbal mudah dipahami, maka bahan pelajaran tersebut perlu
dibantu dengan suatu bahan yang disebut “advance organizer”.
b. Kebermaknaan
Mempelajari bahan pelajaran dengan
berusaha menghayati makna logis dan makna psikologis dari materi yang
disajikan.
· Makna logis terdapat dalam kamus atau
dengan perkataan lain adalah makna yang tidak terbantah kebenarannya. Makna
logis yaitu dari isi konsep dan tergantung kepada hakekat dari bahan yang
dipelajari serta keterhubungannya bersifat umum.
· Makna psikologis yaitu menurut persepsi
seseorang terhadap apa yang diterimanya, sehingga bisa saja makna psikologis
ini akan berbeda masing-masing orang. Makna Psikologis juga diartikan sebagai
makna individual yang mungkin berbeda bagi setiap siswa, tergantung pada makna
logis setiap pribadi yang merupakan bagain integralari struktur kognitif
masing-masing siswa.
Syarat belajar
bermakna :
§ Siswa harus memiliki kesiapan berupa
kemampuan untuk menghubungkan konsep baru yang akan dipelajari dengan konsep
pelajaran baru haruslah mengandung kebermaknaan logis
§ Siswa mengetahui unsur dari konsep,
prinsip dan ide yang terkandung dalam bahan pelajaran baru yang perlu
dihubungkan dengan struktur kognitif yang telah dikuasai.
§ Bahan lama yang telah dikuasai
Langkah-langkah
mendorong ke arah belajar bermakna :
1. Mendorong terciptanya kesiapan belajar
pada diri siswa
2. Mencegah terjadinya cara belajar menghafal
3. Mengecek apakah siswa telah menguasai
konsep-konsep dasar yang diperlukan untuk mempelajari bahan pelajaran baru
4. Menghubungkan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa dengan pengetahuan baru yang akan dipelajari
5. Mengusahakan bahan pengait untuk
memudahkan dalam memahami bahan pelajaran baru
c. Belajar bermakna (meaningful learning)
yang digagas David P. Ausubel adalah suatu proses pembelajaran dimana siswa
lebih mudah memahami dan mempelajari, karena guru mampu dalam memberi kemudahan
bagi siswanya sehingga mereka dengan mudah mengaitkan pengalaman atau
pengetahuan yang sudah ada dalam pikirannya. Sehingga belajar dengan “membeo”
atau belajar hafalan (rote learning) adalah tidak bermakna (meaningless) bagi
siswa. Belajar hafalan terjadi karena siswa tidak mampu mengaitkan pengetahuan
baru dengan pengetahuan yang lama.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut
Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan
dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Seseorang belajar
dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam
prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari dan ditekankan pelajar
mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam system pengertian yang telah dipunyainya.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi
kognitif siswa melalui proses belajar bermakna. Mereka yang berada pada tingkat
pendidikan dasar, akan lebih bermanfaat jika siswa diajak beraktifitas,
dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan pada tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan,
peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi.
Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:
Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:
- Belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajarinya atau siswa menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
- Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
- Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna, materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.
- Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna, yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki.
Prasyarat
agar belajar menerima menjadi bermakna menurut Ausubel, yaitu:
- Belajar menerima yang bermakna hanya akan terjadi apabila siswa memiliki strategi belajar bermakna,
- Tugas-tugas belajar yang diberikan kepada siswa harus sesuai dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa,
- Tugas-tugas belajar yang diberikan harus sesuai dengan tahap perkembangan intelektual siswa.
Jadi belajar bermakna (meaningful learning) itu sendiri dapat
diartikan sebagai suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep
relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Kebermaknaan belajar
sebagai hasil dari peristiwa mengajar ditandai oleh terjadinya hubungan antara
aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau situasi baru dengan
komponen-komponen yang relevan di dalam struktur kognitif siswa. Proses belajar
tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan
kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh,
sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah
dilupakan. Dengan demikian, agar terjadi belajar bermakna maka guru harus
selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah dimiliki siswa
dan membantu memadukannya secara harmonis konsep-konsep tersebut dengan
pengetahuan baru yang akan diajarkan.
Dengan kata lain, belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami
langsung apa yang dipelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak indera
daripada hanya mendengarkan orang/guru menjelaskan. Pembelajaran itu sendiri
pada hakekatnya adalah suatu proses interaksi antar anak dengan anak, anak
dengan sumber belajar dan anak dengan pendidik. Kegiatan
pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam
lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak. Proses belajar bersifat individual dan kontekstual,
artinya proses belajar terjadi dalam diri individu sesuai dengan
perkembangannya dan lingkungannya.
Ada beberapa defenisi mengajar menurut Ausubel, yaitu:
1. Menanamkan pengetahuan pada anak
2. Menyampaikan kebudayaan pada anak
3. Mengatur lingkungan terjadi PMB
Cara
mengajar menurut Ausubel:
1. Guru harus memahami
§ Mampu melaksanakan komunikasi dengan baik
§ Mampu mengintegrasi diri dengan bahan yang
diajarkan
§ Mengenal dengan baik murid-muridnya
§ Menguasai belajar dengan baik
2. Gaya mengajar
§ Cara berdiri didepan kelas
§ Cara bergerak dan berjalan
§ Gerakan tangan yang dilakukan
§ Pandagan mata
§ Mimik dan gerak muka
§ Suara
§ Sikap berdiri
§ Cara menulis
§ Cara bertanya
§ Cara menenangkan kelas
§ Cara memuji
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi
kognitif siswa melalui proses belajar bermakna. Mereka yang berada pada tingkat
pendidikan dasar, akan lebih bermanfaat jika siswa diajak beraktifitas,
dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan pada tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan,
peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi. Kegiatan pembelajaran ini akan
menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan
memberikan rasa aman bagi anak.
2. Saran
Sebaiknya seorang guru harus mampu dalam memberi kemudahan bagi
siswanya sehingga mereka dengan mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan
yang sudah ada dalam pikirannya. Guru baiknya tidak menggunakan proses belajar
dengan cara menghafal karena murid akan bosan dengan cara guru yang menghafal.
Proses belajar menghafal biasanya memberatkan muridnya.
Kamis, 03 Maret 2016
Filsafat Ilmu Aksiologi
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam
mengenai ketuhanan, alam manusia, dan manusia sehingga dapat menghasilkan
pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia
setelah mencapai pengetahuan. Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan
ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap
nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free).
Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan
yang didasarkan pada keterikatan nilai? Bagian dari filsafat pengetahuan
membicarakan tentang ontologis, epistomologis dan aksiologi, Pembahasan
aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Artinya pada tahap-tahap
tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral
suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh
masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya
malahan menimbulkan bencana.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian aksiologi?
2.
Apa kategori dasar aksiologi ?
3.
Apa saja penilaian dalam aksiologi?
4.
Apa
kegunaan aksiologi terhadap tujuan ilmu pengetahuan?
5.
Apa
kaitan aksiologi dengan filsafat ilmu?
1.3 Tujuan
1.
Untuk menjelaskan pengertian
aksiologi
2.
Untuk mengetahui kategori dasar
3.
Untuk mengetahui penilaian dalam
aksiologi
4.
Untuk mengetahui aksiologi terhadap
tujuan ilmu pengetahuan
5.
Untuk mengetahui kaitan aksiologi
dengan filsafat ilmu
BAB
II
PEMBAHASAN
AKSIOLOGI
(Nilai Kegunaan Ilmu)
2.1 Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal
dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi
adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of
value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi.
a.
Menurut
Jujun S. Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.[1]
b.
Menurut
Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan
bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
c.
Menurut
Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan
moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian,serta penerapanilmu.
Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat
yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah
(right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi
mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilakuetis.
Menurut Bramel, Aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu:
Menurut Bramel, Aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu:
1. Moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin
khusus, yaitu etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini
melahirkan keindahan.
3. Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan
melahirkan filsafat sosial politik.[2]
Dari definisi-definjisi aksiologi di atas terlihat dengan jelas
bahwa permasalah utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah
sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa
yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan
etika dan estetika . Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau
dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan
dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari
segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu
kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai
tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya.
Dalam Encyslopedia of philosophy
dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation:
1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang
lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang
lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan
kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata
sebuah nilai atau nilai - nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu
yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai,
memberi nilai atau dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal
tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua
hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.[3]
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalahs esuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai.
Teori tentang nilai yang yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
Teori tentang nilai yang yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
2.2. Kategori Dasar Aksiologi
Terdapat dua kategori dasar axiologi :
1.
Objectivism,
yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek
yang dinilai.
2.
Subjectivism,
yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur
intuisi (perasaan).
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1. Teori nilai intuitif
2. Teori nilai rasional
3. Teori nilai alamiah
4. Teori nilai emotif
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1. Teori nilai intuitif
2. Teori nilai rasional
3. Teori nilai alamiah
4. Teori nilai emotif
Teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran obyectivis sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subyektivis.
1. Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value ). Teori ini
berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan
suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai
yang absolute itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan
melalui intuisi karena ada tatanan moral yang bersifat baku.Mereka menegaskan
bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antar
obyek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku
manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses
intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya
selaras dengan preskripsi moralnya.
2. Teori nilai rasional ( Therational theory of value ). Bagi mereka
janganlah percaya padanilai yang bersifat obyektif dan murni independent dari
manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta
bahwa seseorang melakukan suatu yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa
itu benar, sebagai fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan
sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi dengan nalar atau
peran tuhan nilai ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan
perilakunya.
3. Teori nilai alamiah ( Thenaturalistic theory of value ). Nilai
menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan
hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia,
yang diciptakan , dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani
tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai
instrumental dimana keputusan nilai tidak absolute tetapi bersifat relative.
Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi
manusia.
4. Teori nilai emotif ( Theemotive theory of value ). Jika tiga
aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori
ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan factual tetapi
hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu
opini yang tidak bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi
bagian penting dari tindakan manusia.[4]
2.3 Penilaian Dalam Aksiologi
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang
umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang
membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih
fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu
cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak
masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah
kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya.
Etika sendiri dalam buku Etika Dasar
yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis
dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari
pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah
norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu
sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan,
melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar.
Tujuan dari etika adalah agar manusia
mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.Didalam etika,
nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya
adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab
terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap tuhan sebagai sang
pencipta.
Dalam perkembangan sejarah etika ada
empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme,
utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan
baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap
kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri
adalah kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme, yang
berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara
dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut
hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adala h pemikiran tentang moral yang
diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti
sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara
terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan
baik oleh kehendak manusia.
Sementara itu, cabang lain dari
aksiologi, yakni estetika. Estetika merupakan bidang studi manusia yang
mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam
diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan
harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah
suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik
melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan
suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan
perasaan. Misalnya kita bengun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa
sehat dan secara umum kita merasaakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi
itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam
hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu,
artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal
sebenarnya tetap merupakan perasaan.
2.4 Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu
Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai
guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama,
tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat
bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang
dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”
apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia.
Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak
bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri
merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu
memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan
tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui
kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat
memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1.
Filsafat
sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
2.
Filsafat
sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3.
Filsafat
sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.[5]
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.[5]
2.5 Kaitan Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat
subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek
atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya,
bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada
kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya,
nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian;
kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif
selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia,
seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau
tidak senang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aksiologi ialah ilmu
pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut
pandang kefilsafatan. Dalam arti tertentu, jika nilai merupakan esensi yang
dapat ditangkap secara langsung, maka sudah pasti hubungan antara nilai dengan
eksistensi merupakan bahan yang sesuai benar bagi proses pemberian tanggapan
dan memberikan sumbangan untuk memahami secara mendalam masalah-masalah yang berhubungan
dengan nilai.
3.2. Saran
3.2. Saran
Sebelum Mempelajari Ilmu, hendaknya kita
mempelajari terlebih dahulu tentang aksiologi. Karena aksiologi mempelajari
tentang kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia, selain itu juga mempelajari
tentang teori nilai - nilai tolok ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar
normative penelitian dan penggalian serta penerapan ilmu.
DAFTAR
PUSTAKA
Latif, Mukhtar.Filsafat Ilmu.2013.Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Bakhtiar, Amsal.Filsafat Ilmu.2004.Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Suriasumantri.S, Jujun.Filsafat Ilmu.2009.Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Langganan:
Postingan (Atom)